Pribadi

Menyiasati Kebiasaan yang Bertolak Belakang

Kebiasaan yang Bertolak Belakang

Hai kalian yang belum menikah, jangan dikira menikah itu enak lho! Wihihi, enak kok enak. Tapi tetap bersiap juga dengan keadaan yang gak enak banget. Ya kita kan belum pernah satu rumah kan sama yang belum nikah, jadi jangan kira saat perkenalan itu sudah mengenal luar dalamnya dan segala kebiasaannya ya. No, no, no.

Beda deh saat sebelum menikah dan setelah menikah *yaiyalaaah*. Maksudnya beda, kita mungkin mengira udah kenal dan paham betul gitu pasangan kita. Prinsip udah sama, pemikiran udah sama, hobi apalagi, ngobrol juga nyambung banget, gimana gak akan langgeng kan ya pernikahan? Tapi jangan salah, ternyata begitu udah 1 rumah, eh ada kebiasaan kecil yang ternyata bertolak belakang banget sama kita. Eh, gak cuma 1 aja kebiasaannya itu, ternyata buanyaak, hahaha. Ini nih yang pernah saya bahas, kalau sebelum menikah jangan berharap yang tinggi-tinggi dulu terhadap pasangan (kalau menuju pernikahan yaa). Tetap sampaikan harapan, tapi jangan berharap dulu kalau harapannya nanti akan langsung terwujud begitu menikah. *bingung gak sih kebanyakan kata “harap” hahaha).

Seriusan lho, kebiasaan kecil yang bertolak belakang itu soalnya terjadi pada saya dan suami. Saya suka miss sama detail, suami detail banget. Saya orangnya spontan, suami ternyata penuh rencana. Hal-hal kayak gitu yang pernah bikin konflik *Ahamdulillah gak gede yah konfliknya, hehehe* antara kami. Tapi ya Alhamduillahnya komunikasi kami masih lancarrrr jaya banget, jadinya setiap ada konflik sedikit, kami sama-sama MAU saling membicarakan apa-apa yang kami rasakan. Alhamdulillah cara begitu bikin kami bisa saling mengerti. Dan dari pembicaraan itulah muncul cara-cara menyiasati kebiasaan yang bertolak belakang itu.

Detail vs General

Suami saya itu orangnya detil banget, apa-apa dicatat. Dia bilang sih hal itu karena dia pelupa, makanya dicatat terus. Sebetulnya mencatat memang kebiasaan bagus sih, tapi entah kenapa saya masih belum terbiasa *ya kan emang gak dibiasain -_-*, makanya suka lupa hal-hal kecil. Ya elah, ke rumah mertua aja selalu ada yang ditinggalkan kok, huhuhu. Buat saya mah yang penting baju dibawa untuk menginap, udah, titik. Tetek bengek perlengkapan Naia aja suka lupa, duh. Jadi ngerasa failed jadi ibu x(

Makanya, sekarang-sekarang ini saya mulai melakukan kebiasaan yang sama dengan suami, yaitu mencatat. Ya mencatat apa aja lah ya, biar gak lupa dan biar saya bisa ingat semua detil. Hal ini berguna lho kalau menghadiri acara blogger. Biar di rumah saat mulai menulis gak capek-capek baca press release lagi gitu, atau press release-nya dibaca skimming aja, gak seluruhnya juga bisa. Cuma hal-hal yang diperlukan sebagai penguat catatan aja gitu, hehehe.

Spontan vs Terencana

Hal kaya gini bikin saya dan suami agak gimanaa gitu. Soalnya biasanya sih dalam hal “mau ngapain hari ini” saat weekend. Suami lebih suka direncanakan dulu sebelum weekend kita mau ke mana dan ngapain aja weekend ini, kalau saya lebih suka saat harinya tiba-tiba tercetus “eh, ke ragunan yuk” atau “eh, ke mana yuk”. Atau kalau memang sudah mau pergi dari jauh-jauh hari, suka-suka suami lupa, jadinya dia gak siap. Pokoknya gitu deh. Dan suami jelas kaget donk, soalnya kalau gak ada rencana sebelumnya weekend mau ngapain, atau lupa mau ngapain, biasanya dia mau melaksanakan misi besarnya, yaitu tiduuuurrr, hahahaha. Soalnya buat dia, hari libur itu hari untuk tidur, jadi ya gitu deh. Saya juga kaget dan mikir “ish, masa hari libur asik cerah gini cuma dihabiskan untuk tidur sih, kan sayaaangg..”

Tapi, lama kelamaan kami bisa mengikuti ritme masing-masing. Akhirnya sekarang kalau memang ada rencana di weekend, saya catat di google calendar dan menginvite suami. Biar dia gak lupa kita mau pergi ke mana. Atau, kalau saya aja gitu yang mau pergi, tetap saya invite supaya suami bisa bersiap mengurus Naia seharian, wekekek. Intinya, saya sedikit demi sedikit bisa mengimbangi dirinya yang penuh rencana itu.

Nah, suami pun begitu. Sekarang ini terkadang bisa untuk diajak spontan. Misalnya aja pagi-pagi baru kepikiran mau ke Kebun Raya Bogor gitu, atau ke mana kek gitu. Dia mulai berpikir dan mau untuk pergi. Karena itu tadi, akhirnya dia pun bisa menyeimbangkan sifatnya yang kurang spontan itu.

Atau malah kami bisa saling melengkapi. Misalnya saat berencana pergi jauh dan menginap. Suami biasanya bikin itinerary perjalanan lengkap tuh, mau ke mana makan di mana dan naik apa dan lewat mananya udah dipersiapkan banget banget. Nah, saat ada  hal-hal tak terduga, saatnya saya deh yang bekerja, hihihi. Sayalah yang mengusulkan sesuatu sebagai pengganti hal yang tak terduga itu. Hal ini kejadian saat kami pergi ke Kawah Putih tahun lalu. 😀

Boros vs Hemat

Iyaa, saya termasuk orang yang boros. Suami jelas kebalikannya, yaitu hemaat banget, waktu awal-awal malah terkesan pelit sih buat saya :p *piss yaa papanya :-*

Tapi, once again, hal ini udah bisa kami imbangi. Alhamdulillah banget, suami sedikit demi sedikit berubah jadi gak se”hemat” dulu. Hematnya ituh sampe-sampe kalau mau sedekah pake mikirnya lamaaa banget, sedangkan saya, belanja aja kadang gak pake mikir, apalagi sedekah *tsaaah*. Ya Allah, semogaaa saya gak termasuk riya, huhuhu. Intinya, Alhamdulillah banget, saya bisa menekan boros saya pada level yang cukup lumayan. Ya seenggaknya kalau jalan dan nemu sesuatu yang lucu gak langsung saya beli gitu, mikir dulu itu berguna gak, dan selanjutnya perlu gak? Gitu deh yang diajarin suami.

Sedangkan masalah berbagi, Alhamdulillah lagi, suami sudah jauh berubah banget. Sekarang-sekarang ini untuk bersedekah atau membantu orang, dia sudah enteng banget kayaknya.

Baca: Mental Kaya vs Mental Miskin

Hum, apalagi ya. Kayanya masih ada lagi, tapi sayanya lupa, hahaha. Pokoknya tanamkan aja rasa selalu ingin menjaga hubungan yang terjalin suci dalam ikatan pernikahan *tsaaah*. Karena bener loh yang orang-orang bilang, awal pernikahan, chemistry atau aliran-airan listrik *listrik cinta maksudnya (blaah)* tuh masih sangat kuat banget. Tapi seiring berjalannya waktu, kalau gak dimaintain, rasa cinta itu berkurang.

Pernikahan yang bertahan sampai akhir hayat itu bukan cuma sekedar karena cinta, tapi karena mereka mau, MAU, mau mempertahankan komitmen yang udah mereka bikin.

Terus tips menyiasatinya mana neng? Kalau masih mau baca, yuk lanjut 😉

istianasutanti

Halo, salam kenal ya.

Aku Istiana Sutanti, seorang ibu dari 3 orang perempuan yang hobi sekali mengajak anak-anak untuk traveling bersama.

Di blog ini aku sharing pengalaman traveling kami sekeluarga plus pelajaran parenting yang aku dapatkan, baik dari pengalaman pun dari seminar parenting.

Semoga kalian suka membaca pengalaman traveling kami dan semoga membantu untuk menentukan tujuan traveling kalian berikutnya! ;)

You may also like...

17 Comments

  1. Bertolak belakang bukan berarti tak bisa harmonis ya Mbak. Dan setuju bahwa kuncinya saling melengkapi 🙂

    1. iyaa, betull.. bertolak belakang bukan berarti tak harmonis 😀

  2. nyatet sih aku suka tapi bukunya ketinggalan hehehe sama aja boong ya

    1. eaaa.. aku juga suka gini sih, hahaha

  3. wahhh.. postingan ini buat yang belum menikah.. wajib baca nih! hihihii… aku dan suami juga berbeda, tapi suami banyak mengalah, maklum, mungkin beda umurnya juga jauh yes sama aku hehehe.. *dasar gak mau kalah aja*

    1. bisa jadi ya perbedaan umur yang bikin suami ngalah terus, hihihi

  4. Cinta itu saling melengkapi kekurangan. Kalo punya pasangan yang sifatnya sama kayak kita ga seru. Kayak bercermin aja.
    Kalo bertolak belakang, kita bisa belajar gimana caranya menyesuaikan diri. Saya dan suami juga banyak yang sifatnya bertolak belakang.

  5. Menikah itu saling melengkapi, saling memahami. Dan wajar jika ada yang bertolak belakang, asalkan diselesaikan dengan baik sih. 🙂

  6. Aku juga orangnya suka miss, kadang ada aja yang kelupaan. Udah tau dicatet biar ga lupa tapi suka males nyatet

  7. Dulu awal nikah (bahkan sampai sekarang kadang masih) suka ribut gara2 perbedaan kebiasaan, cuma karena masalah kebiasaan naroh baju atau buang sampah. Tapi alhamdulillah seiring berjalannya waktu banyak mengalami penyesuaian. Menurutku, perbedaan dalam pernikahan akan selalu ada dan bermunculan seiring berjalannya waktu. Yang penting adalah cara kita menyiasatinya aja…

  8. dua isi kepala berbeda, bersatu dalam biduk rumah tangga yang Notabene “penuh dengan gejolak (kalo nggak siap)”
    sama aja mak, diriku jadi banding-bandingin jaman dulu, saat saya dikejar-kejar (tsaah-ikut gaya mak isti) jadi putri impian sang pangeran, tapi kok berubah yah ketika sekarang suami lebih egois kelaki-lakiannya keluarr (tapi beriring waktu-pasti akan indah pada waktunya) >_< hahaha.. tapi penuh surprise sih,,tiba2 dibeliin sesuatuhh yg impian banget,, hati yang jadi batu berubah cair seperti es krim yang lembut nan mani. xoxox

  9. info berharga banget buat jombowati kayak saya mak, hehe. gimana ya mak, saya juga orangnya ga rapi, ga detail, boros, udah berkali-kali menghilangkan kebiasaan tapi susaaaah 🙁

  10. Saya sudah menikah 21 tahun. Setiap kebiasaan selalu saja ada sisi negatif dan positif. Manfaat pernikahan memang untuk saling melengkapi, menyempurnakan dan memperbaiki diri.

    1. setujuuu mak.. 🙂

  11. Mba ir dan suami lumayan bertolak belakang…tp masa2 amburadulan, penyesuaian dan gontok2n udh berlalu… komunikasi udh aman skg hahaha secara kita udh 16 thn bareng2 ?

  12. Saya belum menika dan masih mencari calon, lumayan untuk bahan referensi 😀 salam

    mampir dong di blog saya mba 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.